Beranda | Artikel
Faidah Tafsir al-Fatihah [bagian 8]
Senin, 10 April 2017

Materi :

– Penetapan Risalah

– Hakikat Jalan Lurus

– Ilmu dan Amal

Penetapan Risalah

Surat al-Fatihah mengandung penetapan risalah atau misi kenabian dari berbagai sisi pendalilan. Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Di dalamnya juga terkandung penetapan risalah/kerasulan. Karena hal itu merupakan konsekuensi dari firman-Nya ‘Rabbul ‘alamin’. Sementara Rabb adalah yang memperbaiki hamba-hamba-Nya dan memelihara mereka. Konsekuensi pemeliharaan/tarbiyah bagi mereka adalah diutusnya para rasul untuk memberikan petunjuk dan mendidik mereka. Inilah yang menjadi konsekuensi rububiyah Allah dan konsekuensi hidayah yang terkandung dalam ayat ‘Ihdinash shirathal mustaqim’, karena tidak mungkin petunjuk menuju jalan lurus itu diperoleh kecuali dengan perantara para rasul ‘alaihimush sholatu was salam; ini artinya surat ini juga mengandung penetapan risalah.” (lihat Syarh Ba’dhu Fawa’id Surah al-Fatihah, hal. 8 cet. Dar al-Imam Ahmad)

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Risalah adalah kebutuhan yang sangat mendesak bagi hamba. Mereka benar-benar membutuhkannya. Kebutuhan mereka terhadapnya jauh di atas segala jenis kebutuhan. Risalah adalah ruh, cahaya, dan kehidupan alam semesta. Maka kebaikan seperti apa yang ada pada alam tanpa ruh, tanpa cahaya, dan tanpa kehidupan?” (lihat Ma’alim Ushul al-Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wa al-Jama’ah, hal. 78 karya Dr. Muhammad bin Husain al-Jizani)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan Rasul, ketika menyeru kalian untuk sesuatu yang akan menghidupkan kalian. Ketahuilah, sesungguhnya Allah yang menghalangi antara seseorang dengan hatinya. Dan sesungguhnya kalian akan dikumpulkan untuk bertemu dengan-Nya.” (al-Anfal: 24)

Shirathalladzina an’amta ‘alaihim sampai selesai berisi penetapan jalan para rasul. Karena yang dimaksud dengan alladzina an’amta ‘alaihim -orang yang mendapat anugerah nikmat dari Allah- itu adalah sebagaimana yang disebutkan dalam firman-Nya (yang artinya), “Barangsiapa taat kepada Allah dan rasul, mereka itulah yang akan bersama dengan orang-orang yang diberikan kenikmatan oleh Allah, yaitu para nabi, shiddiqin, syuhada’ dan orang-orang yang salih. Mereka itulah sebaik-baik teman.” (an-Nisaa’: 69) (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim [1/38])

Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata, “…Sesungguhnya kebenaran itu hanya satu, yaitu jalan Allah yang lurus, tiada jalan yang mengantarkan kepada-Nya selain jalan itu. Yaitu beribadah kepada Allah tanpa mempersekutukan-Nya dengan apapun dengan menjalankan syari’at yang ditetapkan-Nya melalui lisan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan dengan [landasan] hawa nafsu maupun bid’ah-bid’ah…” (lihat at-Tafsir al-Qoyyim, hal. 116-117)

Hakikat Jalan Lurus

Jalan yang lurus lebih mempersingkat waktu dan jarak tempuh. Adapun jalan yang berbelok-belok dan menyimpang ke kanan atau ke kiri maka ia justru semakin memperpanjang jarak dan lebih menghabiskan waktu. Oleh sebab itu dengan menempuh jalan yang lurus akan lebih cepat mengantarkan kepada tujuan (lihat Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 81)

Syaikh al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan, bahwa segala sesuatu yang melenceng dari ajaran agama Allah maka itu adalah jalan yang menyimpang. Allah berfirman (yang artinya), “Dan sesungguhnya yang Kami perintahkan ini adalah jalan-Ku yang lurus ini. Maka ikutilah ia. Janganlah kalian mengikuti jalan-jalan yang lain; karena hal itu akan mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya.” (al-An’am : 153) (lihat Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 81)

Yang dimaksud jalan yang lurus (shirathal mustaqim) itu adalah Islam. Islam inilah yang akan mengantarkan manusia menuju Allah. Agama Islam inilah jalan yang mudah dan tidak mengandung kesempitan. Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Allah menjadikan di dalam agama ini suatu kesempitan.” (al-Hajj : 78) (lihat Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 82)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah menukil tafsiran shirathal mustaqim/jalan yang lurus dari Abul ‘Aliyah rahimahullah. Abul ‘Aliyah berkata, “Itu adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kedua orang sahabatnya yang sesudah beliau.” ‘Ashim berkata, “Kami pun menyebutkan penafsiran ini kepada al-Hasan. Maka al-Hasan berkata, “Benar apa yang dikatakan oleh Abul ‘Aliyah dan dia telah memberikan nasihat.”.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, 1/139)

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata, “Jalan orang-orang yang Engkau berikan nikmat kepada mereka; mereka itu adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Dan anda setiap raka’at selalu berdoa kepada Allah untuk memberikan petunjuk kepada jalan mereka itu.” (lihat Tafsir Ayat minal Qur’anil Karim, hal. 17)

Syaikh Abdul Muhsin al-‘Abbad hafizhahullah berkata, “…Kebutuhan hamba kepada hidayah ini lebih besar daripada kebutuhannya kepada makanan dan minuman. Karena makanan dan minuman itu adalah bekal kehidupannya yang fana. Adapun hidayah menuju jalan yang lurus merupakan bekal kehidupannya yang kekal dan abadi.” (lihat Kutub wa Rasa’il Abdil Muhsin, 1/152)

Hidayah yang kita mohon setiap hari ini mencakup dua bentuk hidayah; hidayah berupa bimbingan dan arahan, serta hidayah berupa bantuan dan pertolongan. Hidayah yang pertama biasa disebut dengan hidayatul irsyad wal bayan, sedangkan hidayah yang kedua dikenal dengan istilah hidayatut taufiq wal ilham. Dengan bahasa lain, kita meminta kepada Allah agar diberi ilmu dan juga amal. Kita memohon kepada Allah agar bisa mengenali kebenaran dan tunduk mengikutinya (lihat keterangan Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah dalam Syarh Ba’dhu Fawa’id, hal. 24)

Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah berkata, “Adapun firman-Nya (yang artinya), ‘yang Engkau berikan nikmat kepada mereka’ maka ia memberikan pelajaran bahwasanya berjalannya seorang hamba di atas jalan yang lurus itu merupakan nikmat dari Allah. Kalaulah bukan karena nikmat dari Allah untuk berjalan di jalan lurus itu maka dia tidak akan bisa berjalan dan meniti di atasnya, akan tetapi hal itu semata-mata karena Allah karuniakan nikmat kepadanya.” (lihat Min Hidayat Surah al-Fatihah, hal. 30)

Ilmu dan Amal

Di dalam surat al-Fatihah, Allah pun telah menjelaskan kepada kita bahwa hakikat jalan yang lurus itu adalah dengan memadukan antara ilmu dan amal. Sebab hakikat jalan yang lurus ini adalah mengenali kebenaran dan beramal dengannya (lihat keterangan Syaikh as-Sa’di rahimahullah dalam tafsirnya Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 39)

Oleh sebab itu kemudian dijelaskan dalam lanjutan ayat (yang artinya), “Bukan jalannya orang-orang yang dimurkai.” Mereka itu adalah orang-orang yang dimurkai oleh Allah yaitu orang-orang Yahudi. Dimana mereka telah mengetahui kebenaran, akan tetapi mereka tidak mengamalkannya. Setiap orang yang meniti jalan kaum Yahudi dari kalangan umat ini -setiap orang yang mengenali kebenaran tetapi tidak mengamalkannya- maka dia berada di atas jalan kaum Yahudi -di atas jalan orang-orang yang dimurkai- karena dia telah mengenali kebenaran tetapi tidak mau beramal dengannya. Dia mengambil ilmu tetapi meninggalkan amal. Dan setiap orang yang berilmu tetapi tidak mengamalkan ilmunya maka dia termasuk golongan orang-orang yang dimurkai (lihat Manhajus Salafish Shalih wa Haajatul Ummah ilaih, hal. 8)

Jalan yang lurus ini ditegakkan di atas ilmu. Tidak cukup bermodalkan semangat untuk beramal apabila tidak disertai dengan landasan ilmu. Oleh sebab itu dalam lanjutan ayat Allah berfirman (yang artinya), “Dan bukan pula jalan orang-orang yang sesat.” Mereka itu adalah orang-orang yang beribadah kepada Allah di atas kebodohan dan kesesatan. Mereka beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah namun tidak di atas jalan yang benar. Tidak berada di atas manhaj yang lurus. Tidak berlandaskan dalil dari al-Kitab dan as-Sunnah. Yaitu berada di atas kebid’ahan. Padahal setiap bid’ah itu adalah sesat. Hal ini sebagaimana keadaan yang ada pada kaum Nasrani dan orang-orang yang mengikuti jalan mereka; yaitu orang-orang yang beribadah kepada Allah tetapi tidak di atas jalan yang benar dan tidak di atas manhaj yang lurus. Maka orang semacam itu adalah tersesat. Dia menyimpang dari jalan yang benar dan amalnya menjadi sia-sia (lihat Manhajus Salafish Shalih wa Haajatul Ummah ilaih, hal. 8-9)

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, Orang yang diberikan kenikmatan kepada mereka itu adalah orang yang mengambil ilmu dan amal. Adapun orang yang dimurkai adalah orang yang mengambil ilmu dan meninggalkan amal. Dan orang yang sesat adalah orang yang mengambil amal namun meninggalkan ilmu.” (lihat Syarh Ba’dhu Fawa’id, hal. 25)

Kesimpulan dan Faidah :

– Wajib mengikuti jalan para rasul dan para sahabat

– Jalan yang lurus adalah jalan Islam

– Tidak bisa beribadah kepada Allah kecuali dengan mengikuti petunjuk rasul

– Tidak boleh beribadah kepada Allah dengan bi’dah

– Wajib meninggalkan jalan-jalan yang menyimpang dari Islam

– Tidak bisa menempuh jalan lurus kecuali dengan hidayah dan nikmat dari Allah

– Jalan lurus adalah jalan orang yang diberi nikmat hidayah

– Hidayah mencakup ilmu dan amalan

– Kebutuhan terhadap hidayah jauh lebih penting daripada kebutuhan makan dan minum

– Wajib menimba ilmu dan mengamalkannya

– Orang yang dimurkai adalah yang berilmu tetapi tidak beramal

– Orang yang tersesat adalah yang beramal tanpa ilmu

– Orang yang diberi nikmat adalah yang berilmu dan beramal

Pertanyaan Evaluasi :

– Sebutkan dari bagian mana saja dalam al-Fatihah yang menunjukkan penetapan risalah!

– Sebutkan dalil larangan mengikuti selain jalan Islam!

– Sebutkan dua macam hidayah!

– Mengapa kebutuhan hidayah lebih penting daripada kebutuhan makanan dan minuman?

– Siapakah yang dimaksud dengan orang-orang yang dimurkai?

– Siapakah yang dimaksud dengan orang-orang yang tersesat?

– Siapakah yang dimaksud dengan orang-orang yang diberi nikmat?

– Sebutkan dalil dari al-Fatihah yang menunjukkan wajibnya menimba ilmu!

– Sebutkan dalil dari al-Fatihah yang menunjukkan wajibnya mengamalkan ilmu!


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/faidah-tafsir-al-fatihah-bagian-8/